Jokowi Bangga Angka Pengangguran Turun, Masa Iya?

Setelah resmi disahkannya pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tanggal 20 Oktober 2019 kemarin, maka pemerintahan periode kedua dari mantan Walikota Solo tersebut akan segera dimulai. Kini, waktunya kita mulai mengkaji capaian-capaian di periode satu pemerintahan Jokowi. Hal ini sangatlah penting mengingat kekurangan-kekurangan yang ada harus dianalisis dan kemudian dicari solusi perbaikannya.

Berbagai target yang dicanangkan oleh Jokowi dalam periode pertamanya bisa didapati di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Hingga akhir 2019, Jokowi menargetkan tingkat pengangguran turun ke level 4-5%. Faktanya, target ini memang berhasil dicapai. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran per Februari 2019 tercatat di level 5,01% atau jika dibulatkan menjadi 5%. Turunnya tingkat pengangguran seringkali dibanggakan, baik oleh Jokowi maupun oleh para pembantunya di Kabinet Kerja.

 

Walaupun target dari Jokowi berhasil tercapai, ternyata Indonesia tidak boleh langsung jemawa dan berpuas diri. Dikarenakan tingkat pengangguran di Indonesia masih dapat dikatakan tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dari beberapa negara di kawasan Asia yang dapat dikumpulkan datanya, ternyata tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi ketiga. Lalu apa yang menyebabkan tingginya tingkat pengangguran di Indonesia?

Ada 2 hal yang harus di highlight dan diduga menjadi penyebab masih tingginya tingkat pengangguran di Indonesia, yang pertama adalah struktur perekonomian Indonesia makin tak proporsional dari tahun ke tahun. Kedua adalah karena tenaga kerja informal masih mendominasi pasar tenaga kerja di tanah air.

Perlu diketahui bahwa perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu sektor tradable dan sektor non-tradable. Sektor tradable berisikan industri-industri yang output nya diperdagangkan secara internasional serta melibatkan proses produksi yang konvensional. Agrikultur, pertambangan, dan manufaktur termasuk ke dalam sektor ini. Pada umumnya, sektor tradable memerlukan banyak tenaga kerja berpendidikan rendah, buruh pabrik misalnya.

Sementara itu, sektor non-tradable pada umumnya terdiri dari sektor-sektor jasa seperti jasa telekomunikasi, transportasi, dan keuangan. Sektor ini memerlukan lebih sedikit tenaga kerja, namun dengan kualifikasi tingkat pendidikan yang lebih tinggi, biasanya dimulai dari jenjang S1 ke atas atau setidaknya diploma.

Sejak 2014 silam, perekonomian Indonesia sudah dikuasai oleh sektor non-tradable. Berdasarkan perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia, sektor non-tradable menguasai sebesar 54,8% dari perekonomian Indonesia, sementara porsi dari sektor tradable adalah sebesar 45,2%. Namun, tahun demi tahun terlewati, sektor non-tradable kian menguasai perekonomian tanah air. Pada tahun 2018, sektor non-tradable menguasai sebesar 57% dari perekonomian Indonesia, sementara porsi dari sektor tradable adalah sebesar 43%. Per akhir semester I-2019, porsi dari sektor non-tradable terhadap perekonomian Indonesia kembali naik menjadi 57,2%, sementara porsi dari sektor tradable menciut menjadi 42,8%.

Maka dari itu berimbas kepada penyerapan tenaga kerja terdidik yang menjadi semakin sedikit dikarenakan sektor tradable yang lebih dominan dibanding non-tradable. Tidak dapat dipungkiri ini merupakan penyebab meningkatnya pengangguran lulusan SMA, SMK dan Perguruan Tinggi.

Penyebab kedua ialah karena tenaga kerja informal masih mendominasi pasar tenaga kerja di tanah air. Data BPS mencatat, dari 100% lapangan kerja di Indonesia per Februari 2019, sebanyak 57,27% disumbang oleh sektor informal. Perlu kamu ketahui, perbedaan antara lapangan kerja formal dan informal ialah terkait dengan pembayaran pajak ke pemerintah. Tenaga kerja formal merupakan tenaga kerja yang membayarkan pajak kepada pemerintah. Biasanya, tenaga kerja formal merupakan seorang profesional seperti guru, dosen, dokter, wartawan, dan Aparatur Sipil Negara (ASN). Sedangkan tenaga kerja informal justru kebalikannya yaitu tenaga kerja yang tak membayarkan pajak ke pemerintah walaupun penghasilannya masuk ke kategori pajak penghasilan (PPh). Contoh tenaga kerja informal seperti Pedagang Kaki Lima (PKL), kuli bangunan, dan tukang ojek.

Pasar tenaga kerja Indonesia yang didominasi oleh tenaga kerja informal tentu akan menjadi berbahaya. Karena penerimaan negara akan menjadi menurun karena kebanyakan tenaga kerja tidak membayar PPh. Padahal, PPh merupakan tulang punggung pemerintah untuk membiayai pembangunan.

Jokowi boleh berbangga bahwa target tingkat pengangguran mencapai 5% tercapai. Namun ternyata, ada masalah pelik dibalik itu semua jika kita membedah lebih jauh mengenai kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia.